Afrizal Qosim Sholeh, Kontributor
Tradisi Nasionalisme Pesantren di Asia Tenggara (Bagian I) Bila muncul pertanyaan, mana yang lebih mudah, menjadi toleran atau intoleran, maka sementara ini harus diakui, menjad...
Tradisi Nasionalisme Pesantren di Asia Tenggara (Bagian I) Bila muncul pertanyaan, mana yang lebih mudah, menjadi toleran atau intoleran, maka sementara ini harus diakui, menjad...
Setiap ada tokoh langka yang banyak dicintai orang meninggal, saya bagai anak kecil yang terpukul lesu, lalu hati kecil berbisik yang tidak-tidak. Seperti ketika Habib Jakfar al Kaff, guru kami di pesantren; Kiai Najib Krapyak menyusul Sayyidil Walid, Syekh Ali Jaber, dan ulama lain berpulang, secara spontan hati saya nggerundel, "Mengapa bukan koruptor dan tokoh-tokoh jahat yang pamer gagah dan tidak peduli kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru orang baik yang dicin
Besok, 1,7 miliar Muslim akan merasakan pengalaman ber-Idul Adha di tengah pandemi. Negara melalui beberapa kementerian telah menerbitkan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan Salat Id dan penyembelihan hewan kurban. Pemberlakuan ini beraras pada tujuan baik menuju "hospitalisasi ruang publik" yang mengarah pada mitigasi penyebaran virus Covid-19. Kebaikan lain dilakukan oleh agamawan dan komunitas filantropis yang memodifikasi festival kurban melalui, salah satunya, kampanye #QurbanDariRumah
Belum khatam dengan polemik ustaz yang bergelar pakar akhir zaman, polemik "cocokologi" terkait unsur keagamaan yang sangat rentan itu ternyata sekaligus menjadi lahan basah. Polemik terbaru terjadi di lingkup Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang secara tegas menyatakan keharaman game PUBG.
Malam senyap, dingin dan berkabung. Teras rumah itu ramai, berkerumun orang-orang bertakziah. Seusai berdoa, di sebuah sudut, saya hanyut dalam percakapan tentang kematian jenazah. Kronologis demi kronologis diceritakan. Pun perihal kasus seorang pemuda (22) yang bunuh diri yang santer dibicarakan di desa dalam sepekan terakhir, masih menjadi bahan percakapan yang menarik dan mengandung misteri.
Nisa Sabyan itu, kalau boleh meminjam judul lagu Efek Rumah Kaca, ia biasa saja. Mestinya saya menolak. Menilik tidak satu pun muslim milenial yang tidak
Mencoba dekat dengan Tuhan adalah impian setiap orang beriman. Jangankan hanya ingin dekat, memanggil-Nya dalam azan pun, terkadang diidam-idamkan. Bahkan bisa menjadi kompetisi. Yang keliru itu ketika merasa paling dekat dengan Tuhan, lantas setiap tindak tanduknya diiringi dengan gema takbir bahkan takbiran. Di sini saya teringat kelakar Gus Dur, “Orang Islam itu boro-boro dekat dengan Tuhan, manggil namaNya saja harus pakai toa”. Tapi ini bukan soal bersenandung enak di bawah lindungan payu
Mempercakapkan hijrah kini memerlukan kelonggaran tendensius terhadap paham keagamaan penganutnya. Bahwa sejauh ini, hijrah tidak lagi menjadi term yang
Melalui direct message Instagram, Samia Katel salah satu temanku mahasiswi Universite de Lyon, Prancis, sangat berharap bisa memiliki (would you send to me the video on whatssap?) dan mendengarkan setiap hari video “Shalawat Asyghil” yang saya posting di akun Instagram pribadiku. Permintaan ini mengagetkanku. Karena dia muslimah Prancis yang baru kukenal ketika ia mengisi seminar “Islam Prancis” di Yogyakarta, Januari 2018 silam, ternyata begitu menyukai pujen (masha Allah your last anasheed on
Islam populer mempertegas perdamaian antara Islamisme dengan materialisme.